
Setelah mencuri perhatian publik lewat film pendek Tilik, kini karakter ikonik Bu Tejo kembali dalam film layar lebar berjudul Bu Tejo Sowan Jakarta. Disutradarai oleh Sasono Sastrowardoyo, film ini tetap mempertahankan nuansa komedi satir dengan gaya khas Bu Tejo, namun kali ini dikemas dalam skala yang lebih besar dan menyentuh isu-isu yang lebih luas.
Sinopsis: Dari Kampung ke Panggung Politik
Film ini bercerita tentang Bu Tejo (diperankan oleh Siti Fauziah) yang memutuskan untuk “sowan” atau bertamu ke Jakarta setelah mendapatkan kesempatan mengikuti program pelatihan kepemimpinan perempuan desa. Dengan gaya khasnya yang ceplas-ceplos dan percaya diri tinggi, Bu Tejo datang ke ibu kota dengan ambisi besar: membawa perubahan untuk desanya—dan mungkin, lebih dari itu.
Namun, Jakarta tidak semudah yang ia bayangkan. Bu Tejo harus berhadapan dengan birokrasi ribet, pejabat yang penuh basa-basi, hingga aktivis dan politisi yang punya kepentingan masing-masing. Dalam perjalanan ini, ia tidak hanya belajar soal politik ibu kota, tapi juga tentang realita kekuasaan dan bagaimana suara rakyat sering kali tenggelam dalam riuhnya agenda elite.
Sosok Bu Tejo: Nyinyir Tapi Peduli
Karakter Bu Tejo tetap menjadi magnet utama film ini. Gaya bicaranya yang blak-blakan, suka nyinyir tapi penuh semangat membuat penonton tertawa sekaligus berpikir. Dalam film ini, Bu Tejo tak hanya menjadi ibu-ibu julid seperti di Tilik, tapi berkembang menjadi sosok yang benar-benar ingin berkontribusi.
Siti Fauziah kembali menunjukkan performa luar biasa. Ia membuat Bu Tejo tetap otentik dan relatable, sekaligus memperlihatkan sisi lembut dan idealis dari karakter ini. Kita bisa melihat transformasi Bu Tejo dari pengkritik menjadi pelaku, dari penonton menjadi bagian dari sistem.
Satir yang Mengena dan Menyentil
Salah satu kekuatan utama Bu Tejo Sowan Jakarta adalah kemampuannya menyajikan kritik sosial dan politik dalam balutan humor. Film ini menyentil banyak hal—dari gaya hidup pejabat, perilaku elit politik, hingga mentalitas masyarakat desa—dengan cara yang cerdas dan tidak menggurui.
Visual film ini juga mendukung suasana dengan perbedaan mencolok antara nuansa desa yang hangat dan Jakarta yang penuh tekanan. Musik tradisional yang dikombinasikan dengan beat modern menciptakan nuansa lokal yang segar dan menarik.